(Oleh: Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas Hafizhahullâh)
Diriwayatkan dari
‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu
Malik al-Asy’ari radhiyallâhu 'anhu telah menceritakan kepadaku, demi
Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ
يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ،
وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ-
لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ،
فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ
قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku
sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr
(minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang
sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung lalu seseorang penggembala
-yaitu orang fakir- mendatangi mereka dengan binatang ternak mereka,
untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami
besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari
mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat."
TAKHRÎJ HADÎTS:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
- Al-Bukhâri secara mu’allaq[1] dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh-nya (no. 5590). Lihat Fathul Bâri (X/51),
- Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân),
- Al-Baihaqi dalam Sunannya (X/221),
- Abu Dawud dalam Sunannya (no. 4039).
Hadits ini shahîh. Karena beberapa Imam ahli hadits menghukumi hadits ini shahîh, di antaranya :
- Dishahîhkan oleh al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, al-Barqani,[2] dan Abu ‘Abdillah al-Hâkim.[3]
- Ibnush Shalâh rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[4]
- Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata mengenai hadits ini, “Apa yang diriwayatkan oleh al- Bukhâri adalah shahîh.”[5]
- Dishahîhkan juga oleh al-Isma’ili[6] dan Abu Dzarr al-Harawi.[7]
- Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[8]
- An-Nawawi rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[9]
- Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullâh mengatakan, “Hadits ini adalah shahîh.”[10]
- Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh, tidak ada cacat dan celaan padanya.”[11]
- Asy-Syaukani rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh, diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash-Shahîh.”[12]
- Dan ad-Dahlawi mengatakan, “(Sanadnya) bersambung dan shahîh.”[13]
Untuk mengetahui penjelasan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah musik dan nyanyian dapat dilihat dalam kitab Tahrîm Âlâtith Tharb karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh dan risalah Magister berjudul Ahâdîtsul Ma’âzîfi wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 58), karya Dr. Muhammad ‘Abdul Karim ‘Abdurrahman.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh
juga membawakan nama-nama para Ulama ahli hadits yang menshahîhkan
hadits ini dalam Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 89).
Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat th. 456 H) dan
Muhammad bin Thahir al-Maqdisi rahimahullâh (wafat th. 507 H) mendha’îfk
an hadits ini karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu
sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga
Sahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak
dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah menyatakan
bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu Hibbân
rahimahullâh dalam Shahîhnya, ath-Thabrâni rahimahullâh dalam
al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya.
Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam
al-Bukhâri. Adapun Sahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang
dikenal, maka kita katakan bahwa seluruh Sahabat Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wa sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan
kaum Muslimin.
Pada saat membantah Muhammad al-Ghazâli (Mesir) yang
taklid kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh
mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar
termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah
berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah ta’lîq (adanya pemisah antara
al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya muttashil (bersambung)
karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya, “Hisyâm
telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”
[14]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Tidak ada
upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di
atas -seperti Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang batil
tentang dibolehkannya nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak
sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya-
tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal hadits di atas!".
Untuk menjawab kekeliruan ini:
- Telah disepakati bahwa al-Bukhâri telah bertemu Hisyâm bin ‘Ammar
dan mendengar (hadits) darinya. Sehingga apabila al-Bukhâri berkata,
‘Hisyâm telah berkata,’ maka kedudukan perkataan itu sama dengan, ‘Dari
Hisyâm.’”
- Jika al-Bukhâri tidak mendengar (langsung) hadits ini dari Hisyâm,
maka dia tidak akan membolehkan dirinya untuk memastikan bahwa riwayat
ini darinya, kecuali kalau telah shahîh bahwa Hisyâm (benar-benar) telah
meriwayatkan hadits ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk
menyatakan bahwa seorang syaikh telah meriwayatkan sebuah hadits padahal
dia tidak mendengar langsung dari syaikh tersebut-pen)
-biasanya- karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadits itu dari
Syaikh tersebut dan karena masyhur (terkenal)nya hal tersebut. Dan
al-Bukhâri adalah hamba Allâh yang paling jauh dari penipuan.
- Bahwasanya al-Bukhâri telah memasukkan hadits tersebut dalam
kitabnya yang terkenal dengan ash-Shahîh, dengan berhujjah (berargumen)
dengannya, seandainya hadits itu bukan hadits shahîh, tentu beliau tidak
akan melakukan yang demikian.
- Al-Bukhâri memberikan ta’lîq (lafazh yang menunjukkan terputusnya sanad-pen)
dalam hadits itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm (kepastian),
tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrîdh (cacat). Dan bahwasanya
jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadits
atau hadits itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan,
‘Diriwayatkan dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ,’ dan juga
dengan ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau,’ atau dengan ungkapan yang
sejenisnya. Tetapi jika beliau berkata, ‘Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wa sallam bersabda,’ maka berarti dia telah memastikan bahwa hadits itu
disandarkan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam .
- Seandainya kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak ada artinya,
maka cukuplah bagi kita bahwa hadits tersebut shahîh dan mutt ashil
(bersambung sanadnya) menurut perawi hadits yang lain.” [15]
Berikut ini penjelasan para Ulama hadits tentang Hisyâm bin ’Ammar, di antaranya:
- Imam Yahya bin Ma’in rahimahullâh berkata, ”Tsiqah.”[16]
- Imam al-Bukhâri rahimahullâh mentsiqahkannya karena beliau berhujjah
dengannya di kitab Shahîhnya. Imam Ahmad al-’Ijli rahimahullâh berkata,
”Hisyâm bin ’Ammar ad-Dimasyqi tsiqah shadûq (terpercaya, jujur).”[17]
- Imam an-Nasâi rahimahullâh berkata, ”Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).”[18]
- Hisyâm bin ’Ammar rahimahullâh merupakan salah seorang Ulama yang
berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. al- Hâfizh Ahmad bin
’Abdullah al-Khazraji rahimahullâh berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar as-
Sulami Abul Walid ad-Dimasyqi al-Muqri al-Hafizh al-Khathiib.
Meriwayatkan dari Mâlik, al-Jarrah bin Malih, dan Yahya bin Hamzah dan
banyak Ulama...”[19]
Beliau juga berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ, ”Hisyâm bin
’Ammar...seorang Imam al-Hâfizh al-’Allâmah al-Muqri, Ulama penduduk
Syam... khathîb penduduk Dimasyqa (Damaskus).”[20]
Beliau juga berkata dalam kitab al-’Ibar fî Khabari man Ghabar, ”Hisyâm
bin ’Ammar...khathîb, qâri’, ahli fiqih, dan muhaddits penduduk
Dimasyqa... dua orang Syaikh (guru) dari para Syaikhnya telah
meriwayatkan darinya –karena dia memiliki kedudukan yang tinggi–.”[21]
Hadits ini secara jelas dan tegas mengharamkan
al-ma’âzif –yaitu alat-alat musik–, karena Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa akan ada suatu kaum diantara umatnya yang
menganggap halal apa yang telah diharamkan Allâh Ta'âla atas mereka
berupa zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik.
KOSA KATA HADITS:
اَلْحِرُ (berzina): yaitu kemaluan, asalnya adalah حِرْحٌ, yang jamaknya adalah أَحْرَاحٌ.
[22]
اَلْمَعَازِفُ : Rebana dan sejenisnya yang ditabuh,
sebagaimana dalam an-Nihâyah. Dalam al-Qâmûs, al-Ma’azif yaitu alat-alat
musik seperti seruling dan mandolin. Bentuk tunggalnya adalah عُزْفٌ
atau مِعْزَفٌ, seperti kata مِنْبَرٌ dan مِكْنَسَةٌ. Al-‘Aazif adalah
orang yang memainkan alat musik dan juga penyanyi. Oleh sebab itu Ibnul
Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân menyebutkan, “Artinya adalah
alat-alat musik seluruhnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
ahli bahasa Arab dalam masalah ini.”
[23]
Ucapan itu lebih diperjelas lagi oleh adz-Dzahabi
dalam as-Siyar (XXI/158), “al-Ma’âzif adalah nama bagi semua alat musik
yang dimainkan seperti seruling, mandolin, clarinet, dan simbal.”
[24]
SYARAH HADITS:
Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dan
paling jelas dalam pengharaman lagu dan musik. Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh ketika menjelaskan hadits ini
mengatakan, “Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah:
Pertama: Diharamkannya khamr (minuman keras).
Kedua: Diharamkannya alat musik. Riwayat al-Bukhâri menunjukkan hal itu sebagaimana terlihat dari beberapa segi berikut:
- Sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam: “Yastahillûna
(Mereka menganggap halal)” Dari ungkapan ini, jelas sekali bahwa semua
yang disebutkan dalam hadits di atas, hukum asalnya adalah haram menurut
syariat. Dan di antara yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah
alat-alat musik yang kemudian dihalalkan oleh sekelompok orang.
- Haramnya musik diiringi dengan sesuatu yang sudah pasti
keharamannya, yaitu zina dan khamr. Kalaulah alat-alat musik itu tidak
haram, tentunya tidak akan diiringi dengan (penyebutan) zina dan khamr,
insyâ Allâh.
Ada banyak hadits, yang sebagiannya shahîh, yang
menerangkan tentang haramnya berbagai alat musik yang terkenal ketika
itu seperti gendang, al-qanûn (sejenis alat musik yang menggunakan
senar), dan lain-lain. Tidak ada seorang pun yang menyalahi tentang
haramnya musik atau yang mengkhususkannya. Alat musik yang boleh
hanyalah duff (rebana tanpa kerincingan) saja, dan itu pun dibolehkan
hanya pada waktu acara pernikahan dan ‘Ied (hari raya). Dibolehkan
dengan ketentuan yang rinci dalam kitab-kitab fiqih. Dan saya (Syaikh
al-Albani) telah sebutkan (rinciannya) dalam buku bantahan terhadap Ibnu
Hazm.[25]
Oleh karena itu, empat Imam Madzhab telah sepakat tentang haramnya semua jenis alat musik.
Ada
di antara mereka yang mengecualikan gendang (drumb band) untuk perang
dan sebagian orang pada zaman ini membolehkan musik kemiliteran. Namun
pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan berikut :
- Di antara hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya itu, tidak ada
satu pun hadits yang mengkhususkan atau membolehkannya. Mereka yang
membolehkan hanya berdasarkan ra’yu (pendapat) semata dan menganggap
baik hal itu. Maka itu adalah batil.
- Kewajiban kaum Muslimin ketika mereka berperang, hendaklah mereka
menghadapkan hati mereka kepada Allâh l dan memohon agar Allâh l
menolong mereka untuk mengalahkan orangorang kafir. Itu akan membawa
kepada ketenangan jiwa dan mengikat hati mereka. Adapun penggunaan
alat-alat musik sudah pasti akan merusak dan akan memalingkan mereka
dari dzikrullâh (berdzikir kepada Allâh). Allâh Ta'âla berfirman yang
artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan
(musuh) maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyakbanyak
(berdzikir dan berdoa) agar kamu beruntung. (QS. al-Anfâl/8:45).
- Menggunakan alat-alat musik termasuk kebiasaan orang-orang kafir. Allâh Ta'âla berfirman :
” ... orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian,
mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allâh dan Rasul-Nya,
dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh )...”
(QS. at-Taubah/9:29)
Kaum Muslimin tidak boleh menyerupai mereka,
lebih-lebih menyerupai dalam halhal yang diharamkan Allâh Ta'âla kepada
kita dengan pengharaman yang umum, contohnya adalah musik.
Janganlah Anda tertipu dengan pendapat yang Anda
dengar dari orangorang sekarang yang dikenal sebagai seorang yang
mengaku ahli fiqih yang menghalalkan musik. Mereka –demi Allâh– berfatwa
dengan taklid dan mereka lebih membela hawa nafsu manusia. Mereka
taklid kepada Ibnu Hazm rahimahullâh yang keliru dalam masalah ini
–mudah-mudahan Allâh mengampuni kita dan dia– karena menganggap hadits
Abu Mâlik tidak sah. Padahal hadits itu sudah jelas shahîh. Mengapa
mereka (orang-orang yang membolehkan nyanyian dan musik) tidak mengikuti
empat Imam Madzhab yang lebih paham, lebih ‘alim dalam agama, lebih
banyak pengikutnya, dan lebih kuat hujjah (dalil)nya?!
Ketiga: Bahwa Allâh Ta'âla
akan menyiksa sebagian orang fasiq dengan siksaan yang kongkrit di
dunia, yaitu akan diubah bentuk mereka –kemudian akal mereka– seperti
binatang ternak.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullâh
berkata dalam Fat-hul Bâri (X/49) tentang hadits ini, “Ibnul ‘Arabi
rahimahullâh mengatakan, ‘Perubahan bentuk bisa bermakna hakiki
sebagaimana yang telah menimpa umat-umat terdahulu, dan bisa juga
bermakna kinâyah (kiasan) yaitu perubahan akhlak mereka.’ Aku (Ibnu
Hajar) menjawab, ’Yang benar adalah makna yang pertama (yakni akan
diubah bentuknya secara hakiki) karena itulah yang sesuai dengan redaksi
hadits.” Aku (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullâh)
berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan kedua
pendapat tersebut –sebagaimana telah kami sebutkan–. Bahkan
(penggabungan) itulah yang dapat dipahami langsung dari kedua hadits.
Wallâhu a’lam.”
[26]
Penjelasan Para Sahabat Tentang Haramnya Lagu dan Musik
- ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 73H) Beliau
radhiyallâhu 'anhuma pernah melewati sekelompok orang yang sedang
melakukan ihrâm, dan di antara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka
beliau radhiyallâhu 'anhuma berkata, “Ingatlah, semoga Allâh tidak
mendengarkan (do’a-do’a-red) kamu.”[27]
- ‘Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 68 H). Beliau
berkata, “Rebana haram, al-ma’âzif (alat-alat musik) haram, al-kûbah
(bedug atau gendang, dan yang sejenisnya) haram, dan seruling haram.”[28]
Penjelasan dan Pendapat Para Ulama Salaf Tentang Haramnya Nyanyian dan Musik
- Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullâh (wafat th. 101 H).
Beliau rahimahullâh menulis surat kepada guru anaknya, “Hendaklah yang
pertama kali diyakini anak-anakku dari akhlakmu adalah membenci
alat-alat musik, sesuatu yang dimulai dari setan, dan akibatnya ialah
mendapatkan kemurkaan dari Allâh Yang Maha Pengasih. Karena sesungguhnya
telah sampai kepadaku dari para Ulama yang terpercaya bahwa menghadiri
alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya
akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan
rerumputan. Demi Allâh, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak
mendatangi tempat-tempat tersebut lebih mudah bagi orang yang berakal
daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”[29]
- Imam al-Âjurri rahimahullâh (wafat th. 360 H).
Beliau mengharamkan nyanyian dan alat-alat musik dalam kitabnya,
Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhî. Beliau rahimahullâh berkata,
“(Nyanyian itu) haram dilakukan dan haram mendengarkannya berdasarkan
dalil dari Kitabullâh, Sunnah-Sunnah Rasûlullâh, perkataan para Sahabat
radhiyallâhu 'anhum, dan perkataan mayoritas para Ulama kaum
Muslimin...”[30]
- Imam Abu Bakar bin Walid ath-Thurtusyi al-Fikri rahimahullâh (wafat th. 520 H).
Beliau rahimahullâh adalah salah seorang Ulama pembesar madzhab Maliki
rahimahullâh. Dalam muqaddimah kitabnya, Tahrîmus Sama’, beliau berkata,
“…Kemudian bertambah banyak kebodohan, sedikit ilmu, dan perkara saling
kontradiksi sehingga di kalangan kaum Muslimin ada yang melakukan
maksiat dengan terang-terangan, kemudian semakin lama mereka bertambah
jauh hingga sampai kepada kami bahwa ada sekelompok saudara kami dari
kaum Muslimin —mudah-mudahan Allâh Ta'âla memberikan petunjuk kepada
kami dan mereka— yang telah digelincirkan oleh setan dan telah sesat
cara berpikirnya. Mereka senang kepada nyanyian dan permainan yang
sia-sia. Mereka mendengarkan nyanyian dan musik serta menganggap hal itu
sebagai bagian dari agama yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh
Ta'âla. Mereka telah menentang kaum Muslimin (para shahabat dan
tabi’in). Mereka telah menyimpang dari jalan kaum Mukminin, dan telah
menyalahi para fuqâhâ’ (para ahli fiqih) dan para Ulama pengemban
risalah agama. (Allâh Ta'âla berfirman) :
'Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu
dan Kami akan masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.'
(QS. an- Nisâ’/4:115).”[31]
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh (wafat th. 728 H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa
semua alat musik adalah haram. Telah ada hadits Nabi shallallâhu 'alaihi
wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya
bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan akan adanya
orang-orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr,
dan alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi.
al-Ma’âzif adalah alat-alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para
pakar bahasa Arab, bentuk jamak dari ma’zifah, yaitu alat yang
dibunyikan. Dan tidak ada perselisihan sedikit pun dari pengikut para
imam (tentang haramnya alat musik).”[32]
Beliau rahimahullâh mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat musik) adalah
khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada reaksi
arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena
kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun
berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Ta'âla dan
berzina.”[33]
Beliau rahimahullâh juga mengatakan, “Adapun sama’ (mendengarkan) yang
mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya
sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Ta'âla), ia harus
disuruh bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika
tidak bertaubat, ia dibunuh. Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau
tidak tahu, maka dia harus diberi penjelasan tentang kesalahan
takwilnya itu, dan dijelaskan kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan
kebodohannya. Dalam Shahîh al-Bukhâri dan selainnya disebutkan
bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang-orang
yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr, dan alat-alat musik
dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan menghukum mereka.
Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut pakar
bahasa Arab, al-Ma-’âzif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama
ini mencakup semua alat musik yang ada.”[34]
- Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh (wafat th. 751 H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu daya musuh
Allâh Ta'âla, yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya
terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku
kebathilan terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan
nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari
al-Qur’ân dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan.
Nyanyian adalah senandungnya setan dan dinding pembatas yang tebal dari
ar-Rahman. Ia adalah mantra homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik
yang mabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya.
Dengan nyanyian ini, setan memperdaya jiwa-jiwa yang bathil, ia
menjadikan jiwa-jiwa itu – melalui tipu daya dan makarnya– menganggap
nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat
(argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan
menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”[35]
Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang bernyanyi,
berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan
mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu
setan?!
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh juga berkata, “Meskipun
(majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali
(menurut kaum shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu
wali. Meskipun dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar
ash-Shiddiq radhiyallâhu 'anhu tidak menghadirinya. Meskipun telah
dihadiri oleh Yusuf bin Husain ar-Razi, namun yang jelas tidak dihadiri
oleh ‘Umar bin al-Khaththab al-Fâruq radhiyallâhu 'anhu yang dengannya
Allâh Ta'âla memisahkan antara haq dan batil. Meskipun dihadiri oleh
an-Nûri namun pasti tidaklah dihadiri oleh Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Aff
ân radhiyallâhu 'anhu. Meskipun dihadiri oleh Dzun Nun al-Mishri namun
tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi radhiyallâhu 'anhu
… Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum Muhajirin dan
Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur Ridhwan,
dan segenap Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik tidak ada yang pernah melakukannya. Demikian pula seluruh ulama
ahlu fiqih dan fatwa, seluruh Ulama ahli hadits dan Ulama Ahlus Sunnah,
seluruh ahli tafsir dan imam-imam qira’ah, seluruh imam-imam jarh dan
ta’dil yang membela Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan agama
beliau, tidak ada yang melakukannya. Lalu siapakah lagi yang
melakukannya?[36] Pihak manakah yang berhak mendapatkan rasa aman ketika Allâh membangkitkan seluruh manusia lalu semuanya dikumpulkan?” [37]
FAWÂ-ID HADITS:
- Dalam hadits ini ada tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad shallallâhu
'alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan apa
yang akan terjadi pada ummat Islam.
- Haramnya zina.
- Haramnya mengenakan pakain yang terbuat dari sutera bagi laki-laki.
Karena ada hadits shahîh yang menjelaskan tentang halalnya sutera dan
emas bagi wanita. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا Dihalalkan emas dan sutera bagi para wanita umatku dan diharamkan bagi laki-laki[38]
- Haramnya khamr (minuman keras).
- Haramnya lagu dan musik.
- Semua jenis alat musik adalah haram kecuali duff (rebana) untuk acara pernikahan dengan beberapa ketentuan syari’at.
- Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan nanti akan ada orang
Islam yang menghalalkan sutera, musik, zina dan khamr. Apa yang beliau
shallallâhu 'alaihi wa sallam sabdakan terbukti seperti yang kita lihat
sekarang ini, sebagian ustadz, kyai, dan Ulama menghalalkan musik dan
lagu, bahkan ikut
berjoget dan menyanyi.
Allâh ul Musta’ân wa ’Alaihi Tuklân walâ hawla walâ quwwata illâ billâh.
MARÂJI:
- Al-Qur-an dan terjemahnya.
- Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
- Sunan al-Baihaqi.
- Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Ighâtsatul Lahafân, Imam Ibnul Qayyim. Tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
- Al-Istiqâmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malaah, Abu Bakar bin Husain al-Aajurri.
- Tahdzîbus Sunan, Imam Ibnul Qayyim.
- Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub ’Ilmiyyah.
- Majmû’ Rasâ-il al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali.
- Siyar A’lâmin Nubalâ’, Imam adz-Dzahabi.
- Mawâridul Amân, ringkasan Ighâtsatul Lahafân, Syaikh Ali Hasan.
- Al-Muntaqan Nafîs, ringkasan Talbîs Iblîs, Syaikh Ali Hasan.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Nailul Authâr, Imam Asy-Syaukani. Tahqiq dan takhrij: Muhammad Subhi Hasan Hallâq.
- Tahrîm Âlâtith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Ahâdîts al-Ma’âzif wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan, Muhammad ’Abdul Karim Abdurrahman.
- Ar-Rîhul Qâshif ’al â Ahlil Ghinâ’ wal Ma’âzif, Dziyab bin Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi.
- Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm Syarh Bulûghil Marâm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
- Dan kitab-kitab lainnya.
[1] |
Maksudnya, dengan lafazh
yang menunjukkan bahwa sanadnya terputus antara al-Bukhâri dengan rawi
setelahnya, yaitu Hisyâm bin ‘Ammar. Akan tetapi pada hakikatnya tidak
terputus, seperti yang akan dijelaskan nanti. |
[2] |
Dalam Shahîhnya. Lihat Nashbur Râyah (IV/231). |
[3] |
Lihat Shiyânatu Shahîh Muslim minal Ikhlâl wal Ghalath wa Himâyatuhu minal Isqâth was Saqath (hlm. 84). |
[4] |
Muqaddimah Ibnu Shalâh fî ‘Ulûmil Hadîts (hlm. 32). |
[5] |
Al-Istiqâmah (I/294). |
[6] |
Dalam Shahîhnya. Lihat
Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803), karya Ibnul Qayyim, tahqiq: DR. Isma’il
bin Ghazi Marhaba, cet. Maktabah al-Ma’arif. |
[7] |
Dalam Shahîhnya. Lihat Fat-hul Bâri (X/52). |
[8] |
Ighâtsatul Lahfân (I/464), tahqiq: Syaikh Ali Hasan. |
[9] |
Irsyâdu Thullâbul Haqâ-iq (I/196), tahqîq Syaikh ‘Abdul Bâri Fat-hullah. |
[10] |
Majmû’ Rasâ-il al-Hâfizh Ibni Rajab al-Hanbali (Nuzhatul Asmâ’ (II/449). |
[11] |
Taghlîqut Ta’lîq (V/22). |
[12] |
Nailul Authâr (XIV/510), takhrij dan ta’liq: Subhi Hasan Hallâq. |
[13] |
al-Inshâf (hlm. 62). Dinukil dari Ahâdîtsul Ma’âzif wal Ghinâ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 57-58). |
[14] |
Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 28). |
[15] |
Lihat Ighâtsatul Lahfân
(I/465-466), Mawâridul Amân (hlm. 329) dan Tahdzîbus Sunan
(IV/1801-1803). Untuk mengetahui lebih lengkap jalan-jalan periwayatan
hadits ini, lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 40-41 dan 80-91) dan
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 91). |
[16] |
Tahdzîbul Kamâl (XXX/247). |
[17] |
At-Tsiqât (IX/233) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424). |
[18] |
Tahdzîbul Kamâl (XXX/248) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424). |
[19] |
Khulâshah Tahdzîbu Tahdzîbil Kamâl fî Asmâ-ir Rij âl (hlm. 410). |
[20] |
Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/420). |
[21] |
al-’Ibar fî Khabari man Ghabar (I/351). |
[22] |
Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 76. |
[23] |
Ighâtsatul Lahfân (I/466). |
[24] |
Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 79. |
[25] |
Yaitu kitab Tahrîm Âlâtith Tharb.—Pen. |
[26] |
Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/188-194). |
[27] |
Lihat Dzammul Malâhi (no. 17), Talbîs Iblîs (hlm. 240), dan al- Muntaqan Nafîs min Talbîs Iblîs (hlm. 306). |
[28] |
Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya (X/222). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 92). |
[29] |
Dzammul Malâhi (no. 21), Talbîs Iblîs (hlm. 241), dan al- Muntaqan Nafîs (hlm. 306). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 120). |
[30] |
Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhi (hlm. 39) tahqiq ‘Umar Gharamah al-Amrawi, cet. I th. 1400 H. |
[31] |
Ighâtsatul Lahfân (I/411) dan Mawâridul Amân (hlm. 298-299). |
[32] |
Majmû’ Fatâwâ (XI/576). |
[33] |
Majmû’ Fatâwâ (X/417). |
[34] |
Majmû’ Fatâwâ (XI/535). |
[35] |
Ighâtsatul Lahfân (I/408) dan Mawâridul Amân (hlm. 295). |
[36] |
Kalau generasi terbaik
tidak pernah mendengarkan musik dan lagu, maka tidak ada yang
melakukannya kecuali orang-orang fasik. Kenapa kalian berpaling dari
generasi terbaik?!-Pen |
[37] |
Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi
Samâ’il Ghinâ’ (hlm. 79-80), cet. 1-Daarul Jiil, th. 1412 H atau
al-Kalâm ’ala Mas-alatis Samâ’ (hlm. 44), karya Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah, tahqiq: Muhammad ’Uzair Syams, cet. 1-Dâr ’Alamil Fawâ-id,
th. 1432 H. |
[38] |
Shahih: HR. Ahmad
(IV/394, 407), An-Nasa-i (VIII/161), at- Tirmidzi (no. 1720), dan
lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits Abu Musa Hadits Hasan Shahih.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 277). |
sumber :
(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI)